[:id]Kolaborasi Mahasiswa Rekayasa Pertanian dan STEI Ciptakan Pendeteksi Penyakit Tanaman Berbasis Aplikasi[:en]Agricultural Engineering Student Collaboration and STEI Create Application-Based Plant Disease Detectors[:]
[:id](Penulis : Fakhira Rifanti M., S.T.)
Empat mahasiswa ITB yaitu Lintang Kusuma Pratiwi (Rekayasa Pertanian 14), Febi Agil Ifdillah (Teknik Informatika 14), Naufalino Fadel (Teknik Elektro 14) dan Pebriani Artha (Sistem Teknologi Informasi 14) berhasil menciptakan inovasi di bidang pertanian yaitu Dr. Tania, aplikasi untuk mendeteksi penyakit tanaman. Aplikasi yang menggunakan sistem deep learning ini, dapat membantu petani untuk mengetahui gejala dan penanganan suatu penyakit tanaman secara tepat dan efektif sehingga diharapkan menjadi langkah awal dalam mengurangi resiko serangan penyakit. Produk yang dikembangkan oleh tim yang sekaligus pendiri dari Neurafarm, perusahaan start-up di bidang Precision Agriculture, ternyata berhasil meraih Gold Medal pada ajang WINTEX (World Invention and Technology) EXPO 2018 yang diselenggarakan oleh INNOPA (Indonesian Invention and Innovation Promotion Association) di Insitut Teknologi Bandung pada tanggal 12-13 Maret 2018 lalu. Berikut merupakan ulasan tentang Dr. Tania.
Neurafarm Kembangkan Dr. Tania
Awalnya, penemuan aplikasi Dr. Tania berasal dari sebuah ide kecil Tim Neurafarm dan hasil surveynya ke berbagai kalangan yaitu dosen, urban farmers, peneliti dan petani mengenai penyakit tanaman pada pertanian. Berdasarkan survey tersebut, Tim menemukan hasil yang menarik.
“Dari survey, kami menemukan bahwa 5/8 responden menyatakan pernah salah menangani penyakit tanaman karena keterbatasan pengetahuan, kemiripan antar gejala dan obat yang sulit ditemui. Setelah mengetahui keadaan nyata di masyarakat, kami pun memutuskan untuk menciptakan suatu produk yang dapat mengatasi masalah tersebut berupa Dr. Tania ini ”, ujar Lintang.
Aplikasi Dr. Tania dapat mendeteksi sekitar 34 penyakit tanaman yang berasal dari 7 komoditas. Beberapa diantaranya ialah apel, kedelai, tomat dan jagung. Dr. Tania juga memiliki keunggulan tersendiri yaitu berbentuk chatbot dimana pengguna dapat bertanya langsung pada Dr. Tania dalam bentuk percakapan. User hanya perlu memfoto bagian daun tanaman yang berpenyakit dan dikirimkan ke Dr. Tania. Kemudian, dengan prinsip image processing, Dr. Tania akan mendeteksi bercak-bercak pada daun dan memberikan diagnosa tentang gejala dan penanganan penyakit pada user. Penanganan yang ditawarkan pun tidak hanya secara kimiawi namun juga secara organik dan fisik.
Sejauh ini, inovasi Dr. Tania disambut baik oleh kalangan petani. Namun, di balik penemuan tersebut, solusi pertanian yang berbasis aplikasi memang kerap menemui beberapa kendala dimana kebanyakan petani belum bisa mengakses teknologi tersebut. Oleh karena itu, Tim Neurafarm terus mengembangkan aplikasi ini dengan terbuka menerima banyak input dari responden.
“Sekarang Dr. Tania masih pada tahap .apk. Ke depannya kami akan berusaha mempertajam akurasi gambar, memperbanyak database penyakit tanaman dan menambah fitur-fitur lain. Selain itu, Dr. Tania direncanakan akan langsung me-refer ke link yang menjual produk untuk menangani penyakit. Ada saran juga dari petani bahwa aplikasi ini sebaiknya diintegrasikan dengan device lain agar penggunaannya lebih mudah”, tambah Lintang.
Dengan terus berkembang, Dr. Tania diharapkan menjadi solusi yang lebih baik di bidang penyakit tanaman di masa depan. Lintang juga mengharapkan agar petani, researchers dan hobbyists di seluruh Indonesia dapat menggunakan aplikasi ini sebagai langkah preventif dan kuratif dalam menangani masalah di lahan sehingga dapat berpotensi meningkatkan hasil lahan.
Pengalaman di Ajang Kompetisi Bergengsi
Selain berbagi tentang Dr. Tania, Lintang pun menceritakan pelajaran besar dalam mengikut kompetisi internasional WINTEX 2018. Menurutnya, di era kemajuan teknologi saat ini, negara-negara lain ternyata berlomba-lomba dalam mengembangkan bidang penelitian. Mereka bergerak maju dan berlari dan seharusnya Indonesia tidak boleh berdiam diri namun harus terus berinovasi. Ia juga berpendapat bahwa dalam mengembangkan suatu ide, negara lain dapat menjadi referensi yang bagus.
“Banyak ide-ide dari luar negeri yang sebenarnya bisa kita adopsi dan dikembangkan sesuai kearifan lokal di Indonesia. Dalam mendukung itu, saya dan teman-teman di Neurafarm mencoba mengembangkan pertanian ke arah modernisasi. Sudah saatnya Indonesia mencoba sistem yang lebih efisien dan efektif jika ingin mengejar yield production yang tinggi dan sustainability”, tegasnya.
Mahasiswa tingkat akhir ini juga menyatakan bahwa ITB merupakan tempat yang sangat mudah dan terbuka untuk berkolaborasi sehingga mahasiswa dapat berkarya seluas-luasnya. Kesempatan dalam memperluas network juga begitu besar. Lintang juga membagikan tipsnya dalam mengikut lomba.
“Jika ada proyek atau tugas lakukan sebaik-baiknya karena hal ini dapat menjadi gerbang untuk memperluas relasi. Sehingga menjadi kesempatan bagi kita untuk terus mengembangkan diri”, jelas Lintang.[:en](Author : Fakhira Rifanti M., S.T.)
Four ITB students, Lintang Kusuma Pratiwi (Agricultural Engineering 14), Febi Agil Ifdillah (Informatics Engineering 14), Naufalino Fadel (Electrical Engineering 14) and Pebriani Artha (Information Technology System 14) succeeded in creating innovations in agriculture, namely Dr. Tania, an application to detect plant diseases. Application that uses a deep learning system, can help farmers to find out the symptoms and handling of a plant disease appropriately and effectively so that it is expected to be the first step in reducing the risk of disease attacks. The product developed by the team that was also the founder of Neurafarm, a start-up company in the field of Precision Agriculture, turned out to have won a Gold Medal at the WINTEX (World Invention and Technology) EXPO 2018 event organized by INNOPA (Indonesian Invention and Innovation Promotion Association) at the Institute Teknologi Bandung on 12-13 March 2018 ago. Here is a review of Dr. Tania.
Neurafarm Develops Dr. Tania
Initially, application discovery Dr. Tania came from a small idea of the Neurafarm Team and the results of its survey to various groups such as lecturers, urban farmers, researchers and farmers regarding plant diseases in agriculture. Based on the survey, the Team found interesting results.
“From the survey, we found that 5/8 respondents said they had wrongly handled plant diseases because of limited knowledge, similarities between symptoms and drugs that were difficult to find. After knowing the real situation in the community, we decided to create a product that could solve the problem in the form of Dr. Tania,” said Lintang.
Dr. Tania can detect about 34 plant diseases from 7 commodities. Some of them are apples, soybeans, tomatoes and corn. Dr. Tania also has its own advantages in the form of chatbot where users can ask directly from Dr. Tania in the form of conversation. Users only need to take photos of diseased plant leaves and send them to Dr. Tania. Then, with image processing principles, Dr. Tania will detect patches on the leaves and provide a diagnosis about the symptoms and treatment of the disease in the user. Handling is offered not only chemically but also organically and physically.
So far, Dr. Tania is welcomed by farmers. However, behind these findings, application-based agricultural solutions often encounter several obstacles where most farmers cannot access the technology. Therefore, the Neurafarm Team continues to develop this application openly receiving a lot of input from respondents.
“Now Dr. Tania is still at the .apk stage. In the future we will try to sharpen the accuracy of the image, increase the database of plant diseases and add other features. Besides that, Dr. Tania is planned to immediately refer to links that sell products to deal with diseases. There are also suggestions from farmers that this application should be integrated with other devices so that its use is easier “, added Lintang.
By continuing to grow, Dr. Tania is expected to be a better solution in the field of plant diseases in the future. Lintang also hopes that farmers, researchers and hobbysts throughout Indonesia can use this application as a preventive and curative step in dealing with problems on land so that it can potentially increase land yields.
Experience in the Prestigious Competition Event
Besides sharing about Dr. Tania, Lintang also told a big lesson in following the WINTEX 2018 international competition. According to her, in the era of current technological advancement, other countries were competing in developing research fields. They move forward and run and Indonesia should not be silent but must continue to innovate. She also believes that in developing an idea, other countries can be a good reference.
“There are many ideas from abroad that we can actually adopt and develop according to local wisdom in Indonesia. In supporting that, I and my friends in Neurafarm try to develop agriculture in the direction of modernization. It is time for Indonesia to try a more efficient and effective system if it wants to pursue high yield production and sustainability “, she said.
This final year student also stated that ITB is a very easy and open place to collaborate so that students can work as broadly as possible. The opportunity to expand the network is also so great. Lintang also shared tips on following the race.
“If there are projects or tasks to do their best because this can be a gateway to expanding relations. So that it becomes an opportunity for us to continue to develop ourselves,” explained Lintang.[:]
No Comments